Gayonews.co.id|Redelong – Proses pembuatan akta hibah tanah yang diajukan oleh seorang warga di Kampung Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah menghadapi kendala yang berlarut-larut.
Seorang warga tersebut mempertanyakan transparansi dan kepastian hukum terkait kepemilikan tanahnya yang telah memiliki dokumen resmi.
Pada tanggal 5 Desember, saya mendatangi kantor Reje Kampung Tingkem Bersatu untuk membuat akta hibah atas tanah seluas kurang lebih dua hektare yang terletak di Oregon, Kampung Tingkem Bersatu, saat itu, saya dan anak saya kebetulan bertemu langsung dengan Reje Fitra.
Saya kemudian menyampaikan maksud kedatangan saya sambil menunjukkan dokumen kepemilikan tanah, termasuk SK Bupati, Surat Keterangan Tanah (SKT), dan bukti pembayaran pajak.
Namun, Reje menyatakan bahwa ia harus menanyakan terlebih dahulu kepada pihak yang lebih senior mengenai keabsahan dokumen-dokumen tersebut.
Saya menerima jawaban tersebut dengan keyakinan bahwa surat-surat yang saya miliki sah dan tanah tersebut adalah hak saya yang diwariskan oleh almarhum suami saya.
Beberapa hari kemudian, karena tidak ada tindak lanjut dari pihak Desa, saya kembali mendatangi kantor Desa untuk menanyakan perkembangan. Saat tiba, saya bertemu dengan Reje, seorang Dusun, Ibu Dusun, dan Pak Anur.
Kadus dan istrinya meminta untuk melihat kembali dokumen kepemilikan tanah saya Setelah meneliti dokumen tersebut, Ibu Dusun menyatakan bahwa tanda tangan di SKT yang dikeluarkan pada tahun 1997 adalah milik orang tuanya yang telah almarhum.
Ia juga mengungkapkan bahwa menurut cerita orang tuanya, tanah di Oregon tersebut merupakan milik Pak Gopok yang diberikan kepada istrinya, Siti Gemasih.
Setelah diskusi panjang, pihak desa sepakat untuk meninjau langsung lokasi tanah tersebut, saat di lokasi, saya menunjukkan batas-batas tanah sesuai dokumen yang saya miliki, namun, Reje tetap belum memberikan kepastian mengenai penerbitan akta hibah.
Hampir sebulan berlalu, saya kembali menemui Reje untuk menanyakan perkembangan. Jawaban yang saya terima justru semakin meragukan, karena Reje menyebutkan bahwa ada kemungkinan almarhum suami saya tidak meneliti dengan baik apakah tanah tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.
Untuk memastikan status tanah tersebut, saya menghubungi kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan berkoordinasi untuk melakukan pengecekan titik koordinat.
Bersama tim KPH dan perwakilan Desa, dilakukan pemetaan lapangan, yang hasilnya menunjukkan bahwa tanah saya berada di luar kawasan hutan lindung.
Saya segera menyampaikan hasil ini kepada Reje, tetapi pada awalnya beliau sulit ditemui. Setelah beberapa hari, akhirnya kami bertemu di kediamannya.
Saya menjelaskan hasil verifikasi di lapangan yang menunjukkan bahwa tanah tersebut tidak berada dalam kawasan hutan lindung.
Namun, jawaban yang saya terima justru menambah kebingungan, Reje menyatakan bahwa SK Bupati tidak lagi berlaku, bahwa seorang Bupati tidak berhak membagi-bagikan tanah, dan bahkan menyebut bahwa seorang Bupati bisa dipenjara karena hal tersebut.
Pernyataan ini tentu mengejutkan saya, mengingat dokumen yang saya miliki merupakan dokumen resmi.
Saya pun berusaha meyakinkan Reje dengan menunjukkan kembali dokumen kepemilikan saya beserta peta resmi dari KPH Banda Aceh. Namun, Reje tetap bersikeras dengan berbagai alasan yang sulit diterima.
Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar bagi saya, mengapa proses administrasi yang seharusnya sederhana justru menjadi berlarut-larut? Apakah ada kepentingan lain yang bermain di balik semua ini? Saya berharap ada kejelasan dan ketegasan dari pihak berwenang agar hak kepemilikan saya dapat diakui secara sah.
Sementara itu, saat media ini mencoba mengonfirmasi melalui sambungan WhatsApp tanggal 13 Febuari 2025 kepada Kepala Desa (Reje) Tingkem Bersatu pada tanggal terkait permasalahan tersebut, FITRA, S.Sos membantah bahwa tanah milik Ibu Siti Gemasih berada di wilayahnya.
“Mohon maaf sebelumnya, Pak, tanah milik Ibu Siti Gemasih tidak ada di wilayah kami,” Ujarnya.
Terkait SK Bupati Bener Meriah yang menjadi bukti kepemilikan lahan oleh Siti Gemasih, FITRA, S.Sos dengan gamblang menyatakan bahwa SK Bupati tersebut tidak berlaku.
“SK Bupati itu tidak berlaku Pak, kami juga memiliki surat yang lebih lama, dari tahun 1967,” kata Reje.
Ketika kembali dipertanyakan mengenai keabsahan legalitas dokumen yang telah ditandatangani oleh Bupati, Kapolres, Kejaksaan, DPRK, dan pihak Pertanahan, Reje Fitra menyatakan bahwa pihak Desa juga memiliki dokumen serupa.
“Kami juga memiliki surat yang sejenis, dokumen tersebut sudah kami sampaikan kepada pihak terkait, termasuk Kapolres.
Jika ada keberatan, sebaiknya dibawa ke pengadilan agar lebih jelas, selain itu, kami memiliki tanggung jawab untuk menjaga tanah tersebut karena di sana terdapat hulu mata air yang digunakan oleh lima kampung,” jelasnya.
Ketika ditanya mengenai posisi lokasi tanah berdasarkan hasil pengukuran satelit yang dilakukan oleh pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Aceh yang diajukan oleh Siti Gemasih dan dibuktikan dengan kelengkapan dokumen serta titik koordinat—FITRA, S.Sos tetap bersikukuh bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung.
“Nah, karena itu, tanah tersebut tidak boleh diganggu gugat atau dirusak, tanah itu masih termasuk kawasan hutan, dan resapannya menuju hulu mata air kami, jika tanah ini dikelola atau digunakan untuk keperluan lain, air di sana bisa tercemar,” tandas Reje.(RH)